A. Asal usul Kranggan
Kranggan terletak di wilayah Bekasi, Jatisampurna. Berbatasan dengan wilayah depok dan Kabupaten Bogor. Dibatasi oleh sungai cikeas dan sebelah baratnya dibatasi oleh Kecamatan Pondok Rangon, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur dan Kelurahan Harjamukti, Kecamatan Depok. Penduduk asli Kranggan sehari-hari menggunakan bahasa sunda. Dibandingkan dengan penduduk sekitarnya, orang Hal yang sangat unik untuk dicermati, karena meskipun mereka berada di pusat kota yang sudah modern dan peradabannya maju sekali, rata- rata dari mereka tetap menjaga dan melestarikan kebudayaan dan keepercayaan para leluhur mereka.
Menurut informan, nama Kranggan berasal dari tokoh pendiri kampung Kranggan bernama Raden Rangga. Koon, Raden Rangga ini adalah seorang bangsawan dari kerajaan Padjajaran. Pendapat lainnya mengatakan bahwa asal- usul kampung ini berasal dari kata “keranggan” yakni tempat pemerintahan pejabat pada jaman dahulu yang biasa disebut dengan Rangga. Di kelurahan Jati rangga, dahulu disebut dengan kampung Rangga, terdapat sebuah peninggalan yang berbentuk sebuah gapura. Pada gapura tersebut terdapat tulisan dalam Bahasa Indonesia “Kraton Paserean Selamiring Embahuyut Kranggan”. Selamiring diambil dari dua kata yaitu sela yang berarti kereta yang ditarik oleh kuda, dan kata miring, yang berarti tidak tegak. Kata selamiring berkaitan dengan mitologi lokal, perjalanan seorang Pangeran dari padjajaran, yang bernama pangeran Rangga, yang bersembunyi pada daerah ini untuk menghindari gerakan pangeran Kiansantang dalam rangka penyebaran agama Islam diwilayah padjajaran.Dan menurut sumber, ada juga yang mengatakan bahwa keranggan berasal dari kata “keranggan” yang berarti tempat istirahat. Konon ditempat inilah Prabu Siliwangi beristirahat deri perjalanan yang jauh. Dan pada tempat inilah Prabu Siliwangi “moksa” atau mecapai tingkat kesucian tertinggi[1]
B. Mitologi
Masyarakat setempat yakin bahwa di jaman lampau tempat ini sering dipakai raja-raja Pakuan Pajajaran bertapa. Karena di tempat ini terdapat makam nenek Prabu Siliwangi, yaitu Nyi Kentring. Menurut Olot Entam yang merupakan tokoh spiritual masyarakat Kranggan Gunung Putri, setiap bulan Maulud makam Nyi Kentring banyak yang menjiarahinya hingga mencapai ribuan orang yang berasal dari pelbagai pelosok. Para penjiarah Muslim, Khonghucu, dan Buddha berbaur jadi satu. Meskipun banyak juga yang mempercayai kesaktian makam Mbah Jago yang berlokasi di atas gunung, namun menurut Olot Entam yang lebih bertuah adalah makam Nyi Kentring, karena Mbah Jago itu pengawal Nyi Kentring belaka.
Masyarakat Kranggan Gunung Putri dianggap komunitas dalem, sedangkan Krangan Cibubur dianggap sebagai komunitas luar.Baik di Kranggan Gunung Putri maupun di Kranggan Cibubur, pemimpin spiritual bergelar olot, dari kata kolot (tua). Olot memimpin upacara spiritual di pemakaman, dan pada setiap malam Jum’at olot memberikan pituah. Dalam acara pituah, pengunjung memakai iket.
Menurut Olot Entam, dengan memakai iket kepala yang terbuat dari stangan batik itu berarti sudah teriket.Olot di Kranggan dewasa sekarang adalah Olot Gucong dan Olot Lame. Jabatan olot itu diwariskan berdasarkan keturunan darah.Di jaman lampau, olot dapat dipersamakan dengan resi. Sebagai pemimpin spiritual baik resi maupun olot menjalankan aktivitas produksi, misalnya bertani.
Di bawah olot terdapat struktur yang bernama kuncen. Kuncen adalah orang yang memimpin jiarah. Perkataan jiarah itu merupakan sinkretisme, kata itu berasal dari bahasa Arab ziarah. Tapi dalam keseharian sering diucapkan jarah saja. Di jaman lampau digunakan kata nenamu untuk jiarah.Dalam sistem kepercayaan masa lampau, nenamu adalah bentuk hubungan manusia kini dengan arwah masa lampau. Agar arwah si jenat, anggota keluarga yang meninggal, tetap berada dalam lingkungan keluarganya yang masih hidup, maka makam keluarga biasanya berlokasi di pekarangan rumah.Sumber kepercayaan seperti ini diduga kuat berasal dari Pasir Angin. Terdapat petunjuk bahwa di Pasir Angin juga terdapat kompleks pemakaman. Karena biasanya orang-orang yang dimuliakan dimakamkan di dekat menhir. Tradisi pemakaman seperti ini juga terdapat di Sumatera.[2]
C. Kepercayaan masyarakat Kranggan
Penduduk Kranggan dapat dgolongkan sebagai penganut agama dan tradisi yang bersumber pada keyakinan dan ajaran masa lalu. Hampir semuanya memeluk agama Islam, tetapi diantara mereka ada yang tergolong santri, buhun, dan aliran kebatinan perjalanan (AKP).
1. Santri
Pengolongan Islamm sebenarnya dimulai oleh seorang ilmuwan bernama Cliford Geertz. Penggolongan santri dalam penelitian Geertz termasuk dalam kategorisasi Islam Nusantara yang mencakup pola kehidupan keagamaan masyarakat Jawa berkaitan langsung dengan representasi perilaku dan praktik-praktik ritual dalam beragama. Dalam penelitan Geertz, santri merupakan tipe masyarakat yang dinilai taat dan mantap dalam menjalankan perintah agama yang berkaitan dengan rukun Islam maupun ajaran-ajaran yang lain. Sebagai kelompok masyarakat yang mendalami agama Islam dengan sungguh-sungguh, santri dapat dikategorikan sebagai generasi muslim yang dapat diandalkan untuk meneruskan estafet kepemimpinan ulama atau kiai dalam tradisi pesantren.
Dalam penelitian Geertz, santri ditempatkan sebagai kelompok masyarakat yang paling taat dalam menjalankan perintah agama dan mampu menguasai ilmu agama dengan baik. Bagi kalangan santri, peribadatan menjadi aktifitas yang paling penting dalam memperkuat keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan. Perintah agama seperti shalat, puasa, zakat, dan lainnya menjadi karakter tersendiri yang melekat dalam varian santri sehingga menempatkan mereka sebagai penjaga moral dan sosial dalam kehidupan masyarakat. Tipikal yang melekat dalam varian santri ini jelas dapat dibedakan dengan varian-varian lainnya, seperi abangan maupun priyayi.Penafsiran Geertz tentang varian santri sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan penafsiran dalam tradisi pesantren. Sebagai bagian dari Islam tradisional, pesantren memang sangat identik elemen santri yang menjadi bagian penting dalam pengembangan sistem pendidikan Islam di Indonesia. Terlepas dari penelitian Geertz yang menempatkan santri sebagai kelompok masyarakat yang sungguh-sungguh dalam menjalankan perintah agama, varian atau kelompok keagamaan seperti santri memang tidak bisa dilepaskan dari tradisi pesantren. Kesalehan dalam menjalankan perintah agama dengan sungguh-sungguh merupakan potret nyata atau merepresentasikan varian santri yang disebut Geerzt sebagai “kelompok muslim yang menjalankan syariat dengan konsisten”.
Menurut Abdul Munir Mulkhan, kesalehan tidak hanya berkaitan dengan ketaatan dalam menjalakan perintah agama, namun juga berkaitan dengan prinsip humanisme universal. Kesalehan adalah tindakan yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain, serta dilakukan atas dasar kesadaran pada ajaran Tuhan. Tindakan saleh (sering disebut dalam kosa kata ”amal saleh”) merupakan implementasi keberimanan, pernyataan atau produk dari iman (percaya kepada Tuhan) seseorang yang dilakukan secara sadar. [3]
2. Buhun
Masyarakat Kranggan menampilkan identitas ganda sebagai penganut agama Islam tetapi pada sisih lain penganut tradisi Buhun, yakni sebuah kepercayaan diwarisi secara turun temuru dari leluhur nenek moyang, bentuknya bisa seperti ilmu keasaktian yang diyakini berasal dari Prabu Siliwangi, yang pernah menjadi penguasa Pajajaran.Hubungan antara Prabu Siliwangi dan masyarakat Kranggan ada beberapa macam versi yang tidak dijelaskan dalam makalah ini. Mungkin salah satu pengaruhnya ialah masih dipertahankannya sejumlah ilmu kesaktian di sana.
Tokoh-tokoh adat lokal yang disegani masyarakat masih banyak dijumpai di sana, di antaranya ialah Abah Kolot yang berpengaruh besar di kawasan itu. Abah Kolot selain dikenal sebagai tokoh adat juga menjadi praktisi muslim. Di sebelah rumahnya dibangun mushala yang ia sendiri juga aktif di dalamnya. Ia terkadang mengundang penceramah dari muballig muslim/muslimah memberikan pencerahan, seperti yang sering datang di tempat itu ialah ustadzah Hj. Marwati dari Kp. Raden.
Yang jelas, mereka seolah merasa bangga dan percaya diri karena masih bisa mempertahankan kekhususan komunitasnya yang memiliki nilai-nilai kembar, yaitu nilai agama Islam dan tradisi Buhun di tengah drastisnya pengaruh modernitas di dalam masyarakat Ibu Kota. Di antara ajaran dan kepercayaan sebagian masyarakat Kranggan ialah percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa tetapi lebih menekankan diri sebagai penganut kepercayaan, khususnya Kepercayaan 'Perjalanan', ketimbang sebagai panganut Islam. Bahkan ada di antara mereka tidak mau mengklaim dirinya sebagai seorang muslim.Mereka melaksanakan kawin mawin di kantor catatan sipil sebagaimana layaknya agama non-muslim yang tidak diatur di dalam UU no. 1 tahun 1975, tentang Perkawinan. Mereka merayakan hariraya setiap tanggal 1 Suro menurut kalender orang Jawa. Mereka juga memiliki tempat ibadah sendiri yang disebut Pasewakan. Mereka meramaikan tempat ini setiap malam minggu untuk melakukan pendalaman kepercayaan.
Masyarakat Kranggan masih sering ditemui melangsungkan upacara-upacara khusus seperti melakukan praktek sesaji, bebaritan, ngancak, dan upacara lainnya sebagai media Karuhun, dalam rangka mengungkapkan rasa syukur dan pengabdian mereka kepada Tuhan Yang Maha Tinggi. Kini di kawasan itu semakin plural masyarakatnya karena selain komunitas muslim dan komunitas adat Kranggan juga sudah hadir sejumlah pendatang yang beragama lain. Bahkan menurut Mufid, Walikota Bekasi sebagai pemimpin pemerintahan baru saja meresmikan dimulainya pembangunan gereja Katolik di kawasan itu, meskipun pada awalnya ada demonstrasi warga menolak kehadiran gereja di kawasan itu. Namun pada akhirnya diizinkan karena memang komunitas penganut agama Katolik sudah banyak di kawasan itu dan mereka belum memilki rumah ibadah. [3]
3. Aliran Kebatinan Perjalanan
Aliran perjalanan didirikan pada tanggal 17 September 1927 di Cimerta Kabupaten Subang oleh Mei Kartawinata bersama dua orang temannya, M. Rasyid dan Sumitra. Aliran ini mempunyai nama lain, yaitu :
a. Aliran Kuring, sebelum kemerdekaan. Mei Kartawinata ketika menerangkan ajarannya di mana-mana selalu menyebut “ inilah Agama Kuring” (artinya agama saya), maksudnya “agama asli Sunda”.
b. “Permai” (perikemanusiaan), sesudah kemerdekaan. Pada tanggal 7 November 1948, Mei Kartawinata diangkat sebagai Bapak Rohani.
c. “Agama Yakin pancasila” juga disebut “Agama Sunda”, disebut lagi “Perjalanan” di Bandung
d. “Agama Petrap” juga disebut “Traju Trisna”, disebut lagi “Ilmu sejati” dan “Jawa Jawi Mulya”. Di Tulungagung.
e. “Aliran Perjalanan”, yang terakhir.
Pencetus Aliran Kebatinan Perjalanan
Mei Kartawinata lahir pada tanggal 1 Mei 1987 di kebon Jati Bandung. Pendidikannya Sekolah Rakyat atau HIS (Hollands Inlands School) di zaman pemerintahan Belanda. Ketika masih remaja ia tinggal bersama kakak iparnya di kediaman Sultan Kanoman Cirebon. Ia banyak mengetahui ajaran kebatinan di kalangan keluarga keraton Cirebon, seperti Ilmu Sejati. Di Cirebon ia berhubungan erat dengan Mohammad Ishak yang sering disebut Kiai Sambelun karena mengjarkan ilmu yang disebut ilmu sambelun. Mei Kartawinata kembali ke Subang dan mendirikan aliran Perjlanan pada tahun 1927. Jika di Cirebon ia dicurigai membantu Belanda, sebaliknya di Subang ia memimpin perjuangan melawan Belanda dengan menggunakan aliran Perjalanan sebagai sarana.
Mohammad Ishak lahir pada tahun 1890 di desa Bodeh Plumbon Kabupaten Cirebon. Ia pernah belajar tarekat Nadhatul Arifin, yaitu tarekat yang memberikan tuntunan kepada seseorang ingin mencapai makrifat billah atau arifin billah, mengetahui Allah dengan sebenar-benarnya. Untuk mencapai makrifat billah, seseorang harus mengetahui rahasia alif, lam, mim yaitu Allah-Mohammad-Adam, sempurnanya harus mengetahui pula Alquran dan Hadis. Akan tetapi bukan Alguran dan Hadis dalam bentuk tulisan Arab yang ditulis diatas kertas, melainkan tulisan yang sejati. Demikianlah yang disebut ilmu sambelun.Di samping memimpin aliran perjalanan, Mei Kartawinata dalam kehidupan sehari-hari juga dikenal memiliki kemampuan mengobati orang sakit secara tradisional tanpa memungut bayaran. Melalui sarana inilah ia menyampaikan ajarannya kepada orang lain. Mei Kartawianata meninggal dunia pada tahun 1967 di Jalan Cikutra Cidadas Bandung.
Mengenai dua orang teman Mei Kartawinata, yakni M. Rasyid dan Sumitra, riwayat hidup mereka tidak banyak diketahui. Pada Tahun 1926 M, M. Rasyid dan Sumitra datang ke Subang untuk bekerja di percetkan tempat Mei Kartawinata bekerja. Akhirnya ketiga orang ini menjadi kawan akrab. M. Rasyid dan Sumitra, sama-sama memiliki ilmu kanuragan atau kesaktian. Berbeda dengan mereka, Mei Kartawinata tidak menyukai ilmu kanuragan. Yang penting bagi Mei Kartawinata adalah hidup damai dan saling menghormati antara sesama. Ia selalu peduli terhadap orang lain. Karena ia mempuyai kemampuan pengobatan alternatif, bila ada orang sakit ia berusaha mengobatinya.[4]
D. Upacara
Masyarakat Kampung Kranggan sampai saat ini masih taat menjaga dan menghidupkan tradisi leluhur mereka. Nutur galur mapai asal, menjaga kelestarian budaya leluhur, demikian pedoman hidup yang dipegang teguh masyarakat asli kampung ini.Salah satu tradisi yang dilangsungkan secara periodik oleh warga Kampung Kranggan adalah babarit, sebuah prosesi upacara syukuran dan penghormatan kepada leluhur, langit dan bumi, serta sang pencipta. Prosesi ini sarat nuansa budaya Sunda, baik dari bentuk sesajian, atau sesajen, tata upacara, dan doa yang dilantunkan pemimpin upacara ini.
Upacara babarit
Upacara babarit atau disebut pula salametan bumi ini digelar setiap tahun menyambut datangnya Tahun Baru Saka, Mapag Taun Baru Saka, dan berlangsung selama sebulan penuh. Puncak acaranya adalah mengarak kerbau putih keliling kampung.
"Ini adalah bentuk ungkapan rasa syukur dan terima kasih warga Kampung Kranggan kepada Yang Maha Kuasa karena kami diberikan berkah dan keselamatan," ujar Suta Tjamin, salah seorang tokoh masyarakat Kranggan dalam perbincangan dengan Kompas, Selasa (20/6).
Dalam salah satu rangkaian upacara babarit, warga Kampung Kranggan berkumpul dan menggelar tikar dan terpal di jalanan. Sebuah ancak, yakni alas dari jalinan bambu berukuran 1,5 m x 1,5 m berisikan sesajen berupa buah-buahan dan hasil bumi lainnya, kue, ikan, daging, serta nasi lima warna dan janur, diletakkan di tengah jalan. Sesajen lainnya ditempatkan di sejumlah baskom.Upacara ini dipimpin sesepuh desa yang dikenal sebagai Bapak Kolot. Pemuka desa ini biasanya duduk menyendiri di ujung barisan. Sebuah tempat pembakaran kemenyan, atau disebut parupuyan, dan sesajian diletakkan di hadapannya. Sebelum acara doa bersama dimulai, Bapak Kolot membakar kemenyan di pedupaan dan membacakan doa- doa dalam bahasa Sunda.Upacara dilanjutkan dengan penyampaian maksud dan tujuan acara serta siapa-siapa tokoh warga yang dihadirkan. Disusul dengan penyampaian secara ringkas tentang sejarah dan tradisi di Kranggan serta ucapan terima kasih dan permohonan kepada Tuhan agar warga Kampung Kranggan dan seluruh masyarakat di Indonesia diberikan keselamatan dan berkah.[4]
E. Situs keramat[4]
1. Keramat Mbah Raden
Tempat ini sangat dikeramatkan oleh penduduk daerah Kranggan Pondok Gede. Disini dimakamkan seorang bangsawan Banten adik seperguruan dari Pangeran Sa’uf yang sepadepokan dengan putera Sultan Banten Syeh Maulana Mansyur. Ditandai dengan sebuah Pohon Beringin yang ssudah berusia ratusan tahun dan ditutupi dengan kain putih, membuat tempat ini sangat sakral dan hening untuk bertafakur.konon, Disini dulunya semacam petilasan dan tempat dikuburnya barang-barang pusaka milik dari Sanghyang Senopati Raden Rangga. Perwujudan penjaga makam ini adalah Harimau Putih.dok. pribadi
2. Keraton selamiring mbah Uyut Kranggan
Merupakan makam dari keturunan dari Prabu siliwangi yang merupakan seorang pemimpin pada zaman dahulu, konon, beliau adalah seorang keturunan langsung dari Prabu Siliwangi.
3. Makam Nyi ratu mayangsari
Merupakan keramat yang menjadi cikal bakal desa Bojongsari, yang merupakan putri dari kerajaan sumedanglarang, makam keramat tersebut manjadi salah satu daya tarik warga untuk berjiarah, ke makam yang terletak satu komplek dengan tempat pemakaman umum bojongsari. google.com
5. Keramat Sumur Binong
sumur tua ‘Binong’ di Jatisampurna Kota Bekasi, tepatnya di Kampung Kranggan Wetan, Warga mempercayai sumur Binong dapat membawa keberuntungan tersendiri. Konon kata warga, jika membasuh muka dan berdoa di sumur akan mendapat untung dan menjadi karismatik.